Jumat, 20 Mei 2011

cerpen

Pelabuhan Cinta Terakhir

  Aku berjalan dengan tergesa-gesa menuju rumahku , hari ini sangat panas aku ingin cepat sampai rumah dan segera minum yang dingin-dingin  pasti rasanya akan sangat segar, pikirku. Sesampainya di rumah aku disambut dengan senyuman khas ibuku, ah ibu kau tetap sabar menunggu kami pulang. Tak sedikitpun letih terlihat di wajah ibu, walaupun susah ibu tetap menyunggingkan senyumnya untuk anak dan suaminya. Jika, aku menjadi istri nanti aku ingin seperti ibu, wanita yang tegar dalam menghadapi setiap biduk persoalan rumah tangganya.
“ panas ya nduk, tuh ibu buatin es buah”
Belum sempat aku menjawab, ibu sudah memberikan es buah itu, segera ku minum rasanya sangat segar sedikit mengurangi rasa letihku.
            Malamnya selesai makan kami sekeluarga duduk di ruang tamu sembari menonton televisi, adik semata wayangku sedang asyik dengan remote televisi di tangannya. Sesekali aku merengut karena ada acara yang ku sukai selalu di ubah oleh adikku. Lalu ibu bertanya tentang  kuliahku.
“ bagaimana kuliah mu ran”? tanya ibu
“ sekarang rani lagi buat skripsi bu”
“ wah skripsi to nduk, berarti bentar lagi wisuda to, gak nyangka to pak kita bakal
   punya anak sarjana”
aku hanya diam sambil tak lepas mataku memandang televisi, sedangkan ayah hanya tersenyum.
“ nduk kalau bentar lagi wisuda, udah mesti memikirkan tentang pendamping hidup,
   iyo to pak”?
Mendengar perkataan ibu barusan membuat mataku melebar dan langsung melihat kearah ayah dan ibu secara bergantian. Setelah bisa menguasai suasana aku segera mengalihkan pandangan lagi ke arah televisi, sembari berkata kalau aku belum siap untuk itu.
“ lha kalau menunggu siap, kapan siapnya to nduk, nanti kamu sudah keburu tua”
“ ah bu, Rani kan masih kuliah lagipula umur rani belum tua-tua amat”
“ eits, umur itu terus berjalan nduk, buktinya teman kamu si tarry itu sudah menikah tapi dia masih kuliah, hidupnya baik-baik saja malah dia tetap menjalankan kuliahnya, lagipula dalam tradisi keluarga ibu itu, kalau anak gadis belum nikah ketika umurnya udah dua puluh tahun lebih maka dia dianggap gadis tua alias ndak laku. Ibu ndak mau kalau anak perempuan ibu dianggap ndak laku”
“ tradisi itu kan, udah lama sekali bu. Lagipula rani ndak takut kalau rani dibilang orang ndak laku karena dalam Al-qur’an jelas sekali dikatakan bahwa manusia itu diciptakan berpasang-pasangan, jadi untuk apa rani merasa takut”
“ ibu tau akan hal itu, tapi manusia juga butuh ikhtiar nduk, tidak hanya dengan menunggu saja, bulan lalu saja kamu dilamar oleh tono anak kampung sebelah,  padahal keluarganya cukup terpandang tapi kamu tolak,  dua bulan yang lalu kamu juga menolak  marwan, kalau seperti ini terus tidak akan ada habismya”.
aku  hanya diam, dia tidak bisa berkata apa-apa karena apa yang dibicarakan ibunya itu tidak semuanya salah bahkan boleh dikatakan benar. Hanya saja aku  kurang sependapat dengan ibu ketika bicara soal tradisi nenek moyang.
“ Ran menurut ayah, apa yang dikatakan ibumu itu ada benarnya juga, selain untuk mengikuti tradisi tidak ada salahnya menikah sekarang karena sekarang atau nanti hasilnya akan tetap sama saja” timpal ayah.
“ tapi yah, rani ingin menikah kalau rani sudah mendapat gelar sarjana, dan rani sudah memiliki pekerjaan serta memiliki penghasilan sendiri, rani tidak mau tergantung dengan penghasilan suami rani”
“ ibu tau akan hal itu, tapi rezeki itu tidak akan kemana ran. Buktinya waktu ibu menikah dengan ayahmu umur ibu masih muda bahkan lebih muda dari umurmu sekarang ini, tapi hidup ibu baik-baik saja, ya walaupun tidak mewah seperti yang lainnya tapi kita sekeluarga hidup berkecukupan kan”
aku hanya diam dan menundukkan kepalaku, tak lama aku berdiri menuju kamarku tapi sebelum aku pergi, aku sempat berkata bahwa sekarang keputusan ada di tangan ayah dan ibu karena aku yakin ayah dan ibu akan memberikan yang terbaik buat hidupku. Aku melihat sekilas ke arah mereka, mereka saling berpandangan mungkin mereka sedikit kaget dengan keputusanku ini, tapi aku juga melihat ada kecerahan pada wajah mereka yang mulai menua itu.
            Kulirik jam di dinding kamarku yang menunjukkan jam sembilan pagi. Tadi pagi setelah sholat shubuh aku tertidur lagi. Seumur hidup aku baru kali ini setelah sholat shubuh tertidur itu dikarenakan semalam aku sangat susah tidur memikirkan apa yang dikatakan ayah dan ibu semalam. Aku sempat berpikir mengapa ayah dan ibu masih berpegang teguh pada tradisi nenek moyang, sedangkan zaman sekarang sudah sangat modern. Aku sedikit menyesali adanya tradisi, coba kalau tidak ada tradisi keluarga seperti ini, maka aku tidak akan bingung seperti ini. Dan kalaupun ada tradisi itu, ambil yang baiknya saja dan yang kurang baik berangsur-angsur tinggalkan. Tapi pikiran itu segera aku tepis, kalau tidak ada tradisi keluarga seperti ini maka keakraban antar keluarga akan berangsur punah juga, sedangkan tradisi itu merupakan salah satu cara untuk menambah eratnya hubungan keluarga. Pikiranku kemana-kemana, hingga aku teringat kejadian waktu aku SMA dulu. Waktu itu aku kelas satu SMA, tapi sudah mau naik kelas dua. Lalu, kami diberi oleh wali kelas sebuah angket, angket tersebut berisi jurusan yang akan kami pilih nantinya yaitu jurusan IPA dan IPS. Kami disuruh membawa angket tersebut pulang dan harus di diskusikan dengan orang tua. Waktu itu aku bersikeras untuk mengambil jurusan IPA tapi ayah mengusulkan agar aku mengambil IPS saja, karena menurut ayah aku lebih  menguasai tentang ilmu sosial. Aku sempat berdebat dengan ayah tentang masalah ini, tapi setelah aku pikir-pikir, aku mengambil jurusan IPS. Setelah menjalani jurusan ini aku merasa cocok bahkan aku merasa ini adalah dunia ku. Dalam seketika cita-cita ku ingin menjadi dokter lenyap dan aku mulai menekatkan diriku untuk menjadi seorang guru sosiologi karena aku sangat menyukai pelajaran ini. Waktu itu aku sudah cukup besar untuk menentukan pilihanku sendiri, tapi aku tetap bergantung pada campur tangan ayahku. Ah ayah pengetahuanmu tentang diriku lebih besar dari pengetahuanku pada diriku sendiri. Pernah terbesit dalam pikiranku saat itu, bahwa aku ingin suatu saat nanti menikah dengan orang yang seperti ayah yang banyak mengetahui tentang diriku, tempat aku berlindung dan meluapkan seluruh isi hatiku. Setelah mengingat semua ini aku segera beristighfar, ayah dan ibu adalah orang tuaku mereka sangat menyayangiku dan mereka juga banyak tahu tentangku, jadi mengapa aku harus ragu. Mereka pasti akan memberikan yang terbaik untukku. Amin.
            Panggilan ibu meluapkan lamunanku,  aku beranjak keluar kamar dan menemui ibu.
“Ran ada yang nyari kamu tuh”
“iya bu, sebentar”
Pikiranku melambung membayangkan siapa yang datang, segera kuseret kakiku melangkah ke ruang tamu, ku lihat ada seorang perempuan yang tak asing lagi bagiku. Dia Aisyah salah satu teman akrabku waktu SMA dulu, tapi setelah lulus SMA dia pindah ke luar kota karena ayahnya  dipindahtugaskan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Segera kusapa dia dan kami berpelukan erat seolah takkan terpisahkan. Kami bercerita tentang pengalaman yang kami alami setelah lama tak bertemu. Dari cerita Aisyah ternyata aisyah sudah bertunangan dengan anak direktur tempat ayahnya bekerja. Dia menceritakan ini dengan mata berbinar, aku juga turut berbahagia untuk dirinya. Lalu, Aisyah menceritakan alasan dia datang kerumahku selain sudah rindu denganku. Dia mengajak aku untuk menghadiri pengajian ibu-ibu di kampung Cibiru yang letaknya di kampung sebelah, karena dia akan mengadakan penelitian sebagai tugas akhirnya, dan tanpa pikir panjang akupun menyetujui ajakan Aisyah.
            Hari itupun tiba, Aisyah menjemputku dengan mobilnya. Aisyah menyetir mobilnya dengan santai, sesekali kami tertawa karena mengingat kejadian yang lucu ketika masih sekolah dulu. Sesampainya di kampung cibiru kami langsung masuk ke dalam mesjid, disana sudah banyak ibu-ibu yang menunggu, kami sengaja memilih duduk di paling depan supaya bisa mendengar ceramah dengan khusyuk. Tak lama kemudian datang seorang yang diiringi oleh pengurus mesjid. Pemuda itu bernama ustad Muhammad Ayyas Al-Bashri. Dia mengawali pembicaraannya dengan teka-teki lucu, sehingga para audiens tertawa. Ustad ayyas begitu ia sering disapa memulai ceramahnya dengan memberikan tema yang akan disampaikannya yaitu Tuhan itu tak pernah mati. Aku sangat tertarik dengan topik ini, karena topiknya bagus tidak mengada-ngada dan juga bisa menguatkan keyakinanku bahwa Allah itu selalu ada buat umatnya. Penjelasan dari ustad Ayyas sangat runtun, bahasanya halus dan mudah dimengerti,  serta dilengkapi dengan Firman Allah atau hadist dari Rasullah semakin memperkuat argumennya. Disamping itu juga, ketika ada pertanyaan dari orang dia menjawabnya dengan santun apalagi disertai dengan humor membuat para pendengar semakin terkesima. Terbesit ada rasa kagum pada diriku terhadap sosok ustad Ayyas dan aku sempat membayangkan kalau calon suamiku nantinya seperti dia. Aku segera mengucap istighfar, aku begitu malu pada Allah, sungguh aku adalah makhluk-Mu yang kecil yang tidak mudah puas akan sesuatu. Astagfirullahalazim.
            Aku sedang sibuk mengutak-atik laptopku ketika ibu masuk. Ibu memberikan selembar foto kepadaku.
“ apa itu bu”?
“ ini foto calon suamimu, dia adalah anak teman ayahmu. Ibu pernah ketemu dia sekali, anaknya baik, sopan, dan sekarang dia lagi kuliah S2 semester akhir loh, dan yang paling penting dia tidak masalah dengan statusmu yang belum sarjana”.
Aku menghela napas berat dan berkata pada ibu letakkan saja fotonya di laci. Lalu ibu meletakkan fotonya di laci. Kutekan rasa penasaranku untuk tidak melihat foto tersebut, biarlah seperti ini saja dulu, pikirku.
            Tiga hari kemudian. Pada siang hari calon suamiku datang melamar. Aku hanya tertunduk aku tak ada keberanian mendongkakkan kepalaku dan menatap calon suamiku. Sekilas aku melihat kearahnya dia nampaknya biasa saja atau dia terlalu pintar untuk menyembunyikan kegugupannya, apa mungkin dia tidak merasa gugup sama sekali, lain halnya dengan diriku. Aku benar-benar salah tingkah. Setelah rombongan calon suamiku pulang, aku baru bisa bernapas dengan teratur, salah tingkahku berangsur-angsur pulih kembali. Sanak saudaraku membicarakan calon suamiku, sesekali mereka cekikikan. Aku sungguh sangat penasaran dengan calon suamiku itu, tapi kalau memaksa untuk ikut ngobrol dengan mereka, hanya akan membuat aku malu, karena aku tidak tahu sama sekali tentang calon suamiku itu bahkan namanya saja aku belum tahu. Tiba-tiba aku teringat foto calon suamiku yang diberikan ibu kepadaku yang ada di laci, ingin sekali aku melihatnya. Tapi kutekan egoku agar tidak melihat foto itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku.
            Hari yang menentukan itupun tiba. Aku tak tahu apa yang aku rasakan saat ini, aku sungguh-sungguh sangat gugup. Apalagi ketika keluarga calon suamiku telah tiba, jantungku berdebar tak menentu. Tuhan tolong aku. Jantungku semakin berdebar kencang ketika ibu mengandengku untuk duduk disamping seorang laki-laki yang dalam hitungan menit itu, akan menjadi suamiku. Ayah menikahkan kami dengan tangannya sendiri, aku tak bisa menahan haru tanpa terasa air mataku jatuh membasahi pipiku. Saat ini perasaanku campur aduk antara bahagia, sedih dan haru. Aku tidak tahu apa yang dirasakan oleh orang yang disampingku ini, yang sekarang sudah menjadi suamiku. Aku harus memulai untuk mendekatkan diri pada suamiku ini. Setelah ayah selesai menikahkan kami aku berbalik arah, lalu berhadapan dengan suamiku dan aku mencium tangannya. Sekilas aku melihat wajahnya, lama aku tertegun antara percaya dan tidak. Subhanallah, ternyata suamiku adalah orang sempat aku kagumi akhir-akhir ini, dia adalah Muhammad Ayyas Al-Bashri. Seorang penceramah muda yang telah menggetarkan hatiku untuk pertama kalinya. Tanpa aku sadari aku tersenyum, senyum yang hanya aku dan Allah yang tahu maknanya. Tuhan...begitu indah rencana-Mu. Tiba-tiba suamiku berbisik  di telingaku dan dia berkata terima kasih Zaskia Raniah Safitri telah menerima aku sebagai suamimu. Dia berbicara padaku dengan nada suara yang akrab seolah-olah dia sangat mengenalku.  Aku hanya bisa menganga. Aku bingung. lalu aku melihat ke arah suamiku yang tersenyum sambil melihatku, kemudian aku melihat ke arah ayah dan ibuku secara bergantian. Mereka juga tersenyum sama seperti suamiku. Aku benar-benar tak tahu apa yang terjadi. Tuhan ada apa ini, pekikku dalam hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar